------------
Rio P.O.V
“Kamu balik
kesini lagi kapan?” Gadis itu bertanya sembari menahan tangis
“Belum tahu”
jawabku , kugenggam tangannya , berusaha menenangkan.
Kami sedang berada di ruang tunggu
bandara. Satu jam lagi pesawat tujuan
Medan akan lepas landas membawa serta aku. Aku harus kembali ke Kota Melayu
Deli untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.
“Kamu janji
akan kembali kan?” Air mata yang sedari tadi berusaha ia tahan memaksa untuk
keluar bersama rasa ketakutan akan kehilangan. Gadis itu mengulang pertanyaan
yang sama. Aku tahu, dia hanya memastikan bahwa aku tidak ingkar janji. Tenang
saja, aku tidak akan ingkar janji karena aku tak sanggup berada jauh darinya.
Pertanyaan
itu kubiarkan menggantung. Kudekap gadis itu, dia tampak rapuh dan kuhapus air
mata yang mengalir di pipinya. Aku tak suka melihat ia menangis, aku tak tega.
Mata indahnya akan tampak sayu. Asal kalian tahu mata Dina –nama gadis itu-
adalah mata terindah yang pernah aku lihat, mata itu mengingatkanku pada sosok
mendiang ibu. Irisnya berwarna coklat dan setiap ia berbicara, mata itu seolah
ikut berbicara dan meyakinkan orang yang dia ajak bicara. Hal itu pula yang
membuatku jatuh hati padanya. Walaupun, aku tau tak seharusnya ini terjadi. Aku
mendesah pelan.
“Jangan nangis,
aku nggak suka lihat kamu sedih. Aku akan kembali untukmu percayalah” kukecup keningnya. Oh, aku akan merindukan
gadis ini.
Ia menghapus air matanya dan mencoba membuat lengkungan di bibirnya. Manis.
Ia menghapus air matanya dan mencoba membuat lengkungan di bibirnya. Manis.
Ruang tunggu bandara selalu menjadi
saksi bisu atas kepergian dan kedatangan. Jikalau ia bisa berbicara, pasti ia
akan bercerita tentang kesedihan orang-orang yang ditinggalkan, maupun
bahagianya sebuah pertemuan. Di ruang tunggu bandara ini, Aku dan Dina saling
menggenggam tangan, erat. Seolah tak ingin berpisah. Memang begitu.
Sebenarnya aku -dia pun- takut jarak yang terbentang diantara kami akan mempersulit hubungan ini, padahal tak seharusnya kami ketakutan karena sebenarnya kami telah memiliki tempat pulang masing-masing.
Satu jam berlalu sangat cepat, terdengar pemberitahuan bahwa pesawat akan segera lepas landas.
Sebenarnya aku -dia pun- takut jarak yang terbentang diantara kami akan mempersulit hubungan ini, padahal tak seharusnya kami ketakutan karena sebenarnya kami telah memiliki tempat pulang masing-masing.
Satu jam berlalu sangat cepat, terdengar pemberitahuan bahwa pesawat akan segera lepas landas.
DINA P.O.V
“Hati-hati”
Aku memeluknya untuk yang terakhir, kukatakan terakhir karena kemungkinan kami tidak akan
bertemu dalam waktu yang lama. Aku mencoba menghirup aroma parfumnya dan
berusaha mengingatnya dalam otak, hati dan jika bisa aku akan menanamkannya pada
seluruh anggota tubuhku agar tidak hilang begitu saja. Aku tidak hanya akan
mengingat aroma tubuhnya, namun wajahnya, senyumnya, cara ia tertawa. Ah, semua tentang
lelaki ini pasti akan selalu ku ingat.
“Pasti.
Makasih ya udah mau nemenin beberapa hari ini” ia tersenyum
“Bukan
apa-apa” jawabku jujur
“Aku akan
merindukanmu”
“Aku……juga.
Sudah segera pergi atau kamu akan ketinggalan pesawat. Hati-hati, Yo”
Sebenarnya aku tidak apa-apa jika ia tertinggal pesawat. Sungguh. Namun aku tak boleh egois.
“Iya, kamu
baik-baik ya sama Rino” ujarnya ragu-ragu
Aku mencoba tersenyum. Getir.
“Kamu juga ya sama……….
Diana”
Nyeri. Pilu.
Aku
merasakan hal yang aneh saat menyebut nama orang lain, kupikir lelaki ini juga
merasakan hal yang sama, terlihat dari raut wajahnya. Seharusnya memang tak
begini, seharusnya hanya aku dan dia tanpa pendamping kita.
0 komentar:
Post a Comment